Rabu, 23 Januari 2013

Avatar The Legend Of Korra


Avatar The Legend of Korra, adalah film lanjutan dari film Avatar The Legend of Aang. Dalam buku pertamanya, udara, diceritakan avatar aang telah meninggal tujuh puluh tahun yang lalu dan perputaran avatar pun jatuh di negara air di suku air selatan. Korra dilahirkan dari seorang ayah dan ibu pengendali air, yang bernama Tonraq dan Senna. Satu-satunya yang masih ada dalam tim avatar aang adalah Katara, ia mengajarkan pengendalian dan penyembuhan dengan air kepada Korra. Korra tumbuh di lingkungan yang baik dan menjadi seorang anak yang tomboi. Korra sudah menguasai 3 elemen, yaitu air, tanah, dan api, tetapi 1 elemen yang belum ia kuasai, yaitu udara.Pengendali udara satu-satunya yang harus mengajari Korra adalah Tenzin, yaitu anak dari Aang dan Katara. Tenzin selalu menghindar untuk mengajari Korra elemen udara. Akhirnya Korra pun meninggalkan suku air selatan bersama naga, anjing kutub, dan pergi ke Republik City tempat Tenzin dan keluarganya tinggal.
Awal kedatangan Korra di Republik City tidak terlalu mulus, ia sampai harus berhadapan dengan Chief Lin Beifong, anak dari Toph, sebelum bertemu dengan Tenzin. Awalnya Tenzin ingin memulangkan Korra ke kutub selatan, tetapi ia berubah pikiran dan menerima Korra untuk belajar pengendalian udara. Korra sangat susah sekali dalam melakukan pengendalian udara, karena ia kurang sabar ketika berlatih. Selain belajar elemen udara, Korra juga mengikuti turnamen para pengendali elemen tanpa sepengetahuan Tenzin. Elemen yang digunakan dalam turnamen ini hanya ada 3, yaitu air, tanah, dan api. Korra pun bertemu dengan kelompok Fair Farrets, yaitu Mako, seorang pengendali api, Bolin, seorang pengendali tanah, dan pengendali air. Korra ikut bergabung dengan kelompok Fair Farrets sebagai pengendali air, karena sebelumnya pengendali air itu mengundurkan diri. Ketika turnamennya yang pertama, ia lupa cara yang diajarkan oleh Mako, sehingga ia mengeluarkan semua elemen yang dikuasainnya.

 Ketika Tenzin mengetahui bahwa Korra berada di turnamen tersebut ia marah, karena ia tidak ingin Korra celaka. Seiringnya waktu, Tenzin pun membiarkan Korra mengikuti turnamen tersebut. Semua warga Republik City akhirnya telah mengetahui bahwa avatar telah kembali, tetapi ternyata terdapat seorang yang tidak menyukai para pengendali dan ia ingin memusnahkan para pengendali yang ada di seluruh Republik City, ia disebut Amon.
Setelah turnamen tersebut, Korra jatuh cinta dengan Mako, tetapi Mako pada waktu itu hanya memiliki sedikit rasa suka padanya kerena ia sudah menyukai Asami, anak seorang pemilik industri mobil terbesar di Republik City dan ternyata ayahnya pengikut Amon. Sedangkan Bolin, ia menyukai Korra, karena ia merasa memiliki kesamaan dengan dirinya sama-sama kuat dan lucu. Tetapi karena Bolin melihat Korra dengan kakaknya, Mako, berciuman, ia pun patah hati. Karena tidak ingin tim mereka kalah, akhirnya mereka saling meminta maaf dan Korra ingin menjadi teman saja.
Pada Turnamen akhir, Amon meluncurkan serangan dan ia menghilangkan elemen yang dimiliki oleh para pengendali secara permanen. Korra pun ikut bergabung dengan Tarlock, dengan terpaksa, dalam memberantas kelompok anti pengendali. Korra pun pernah meminta duel dengan Amon dan nyaris ia kehilangan semua elemennya. Korra membentuk timnya sendiri untuk menghadapi Amon, dan tidak bergabung dengan Tarlock lagi. Timnya terdiri dari pengendali api, Mako, pengendali tanah, Bolin, dan Asami. Ketika tim avatar Korra sedang mengejar pengikut Amon, ia melihat Tarlock mengumpulkan semua warga non-bender untuk dipenjara, karena ia mengira warga yang tidak memiliki pengendalian elemen, mereka mengikuti kelompok Amon. Korra pun membebaskan warga-warga itu, tetapi Tarlock membawa pergi teman-temannya untuk dipenjara.
Korra meminta bantuan pada Tenzin, tetapi tetap tidak bisa. Akhirnya, ia pergi sendiri menghadap Tarlock meminta dibebaskan teman-temannya. Tetapi terjadi percekcokan pun terjadi antara Korra dan Tarlock, mereka pun berkelahi. Ketika Tarlock hampir kalah, ia pun mengeluarkan pengendalian rahasianya, yaitu pengendalian darah. Karena pengendalian darah dilarang di republik City, maka Tarlock pun menutupinya dengan pengendalian airnya. Korra pun kalah dan diasingkan oleh Tarlock ke tempat yang jauh dari Republik City. Tenzin, Beifong dan teman-teman Korra pun mencari Korra dan akhirnya mereka pun menemukannya bersama naga, walau mereka sempat tertipu oleh Tarlock. Sebelum Korra bebas dari tempat pengasingannya, Amon dan beberapa pengikutnya datang ke tempat pengasingan tersebut. Kedatangannya kesana adalah untuk menghilangkan pengendalian yang dimiliki Tarlock dan avatar. Ketika tahu hal itu, Korra pun mencari cara untuk kabur dan akhirnya berhasil dan bertemu naga.
Amon telah bergerak dengan cepat dan menghilangkan semua pengendalian yang dimiliki oleh para ketua dari berbagai elemen. Tenzin hampir saja terkena, dan berhasil diselamatkan oleh Korra dan tim avatar. Tenzin telah meminta bantuan  pada Jenderal Iroh yang merupakan keturunan dari Raja Zuko, tetapi ia tidak bisa menunggunya karena pesawat-pesawat Amon banyak yang menuju ke pulau tempat tinggal Tenzin. Akhirnya Tenzin dan seluruh keluarga dan pengendali udara yang tersisa dan Beifong, mengungsi ke kutub selatan tempat Katara tinggal, sementara tim avatar, dan penjaga pulau udara tetap tinggal di pulau itu. Sebelum mengungsi, istri Tenzin pun melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Rohan. 2 pesawat Amon mengikuti Tenzin dan keluarganya, akhirnya Beifong pun menyerang pesawat itu tetapi tidak berhasil, dan ia pun dibawa oleh pengikut Amon ke tempat Amon untuk dihilangkan pengendaliannya.
Di pulau udara, ternyata penjaga pulau itu menyuruh tim avatar untuk pergi dan menunggu Jenderal Iroh sebelum Amon dan pengikutnya. Tim avatar pun menemukan sebuah tempat persembunyian aman dibawah tanah, yang ternyata banyak sekali warga yang mengungsi di tempat itu. Jenderal Iroh pun datang, ternyata Amon dan pengikutnya telah memberikan tanda di laut, jika ada kapal yang lewat. akhirnya kapal-kapal Jenderal Iroh pun rusak berat, dan Jenderal Iroh pun sempat tenggelam dan akhirnya ditolong oleh Korra.
Mereka semua membuat rencana, Mako dan Korra akan pergi ke markas Amon, kemudian Asami, Bolin, dan Jenderal Iroh pergi ke suatu tempat menaiki Naga. Mako dan Korra pun sampai di tempat kediaman Amon, dan mereka sangat terkejut dengan orang yang berada di dalam kurungan, yaitu Tarlock. Lalu Korra pun menanyakan pada Tarlock, kenapa ia begitu spesial. Ternyata Amon adalah kakaknya yang bernama Noatak, mereka berasal dari suku air dan mereka berdua pun seorang pengendali air dan darah. Mereka dilahirkan dari seorang ayah bernama Yakone, seorang pengendali darah buronan di Republik City. Yakone melakukan operasi plastik untuk dapat kembali ke kutub menemui perempuan yang dicintainya. Penegndalian darah Yakone pada waktu itu telah diambil oleh Avatar Aang, karena sangat meresahkan warga. Pada mulanya kehidupan Yakone bersama keluarganya sangat baik, sampai anak-anaknya telah tumbuh besar. Ketika Noatak berumur 14 tahun dan Tarlock 7 tahun, Yakone mengajarkan anak-anaknya pengendalian darah tanpa sepengetahuan istrinya untuk membalas dendam pada avatar yang telah mengambil keahiannya. Noatak adalah anak yang sangat hebat dalam mengendalikan air dan darah, sedangkan Tarlock tidak terlalu hebat. Ketika ayah mereka meminta praktekan pengendalian yang telah diajarkan pada mereka, Tarlock pun tidak ingin, karena ia sangat kasihan terhadap hewan-hewan yang akan diuji coba. Ketika Yakone marah kepada Tarlock, Noatak pun menggunakan pengendalian darahnya pada ayahnya. Ia mengatakan tidak ingin menggunakan pengendalian yang telah diajarkan oleh ayahnya, ia pun sangat marah dan meninggalkan Tarlock dan ayahnya.Ketika selesai menceritakan kisah sedihnya, Tarlock pun meminta Korra untuk mengakhiri kisah sedihnya, yaitu dengan membunuh Amon, kakaknya.
Korra dan Mako pun pergi ke tempat pertemuan pengikut-pengikut Amon, dan disana Amon berbicara. Korra pun mengatakan kepada semua pengikut Amon, bahwa ia adalah seorang pengendali darah. Tetapi Amon membantahnya dan mengatakan ia bukan seorang pengendali, dan mukanya terbakar terkena api. Kemudian Amon pun mengeluarkan Tenzin  dan anak-anaknya dalam keadaan terikat. Korra dan Mako pun membebaskan Tenzin dan anak-anaknya dan mereka pun harus melawan Amon. Mereka pun saling mengejar, dan akhirnya Amon pun mengeluarkan pengendalian darahnya untuk mendapatkan avatar dan menghilangkan elemen-elemen yang ia punya. Ketika semua pengendalian Korra hilang, Amon pun ingin menghilangkan elemen api Mako. Ketika pengendalian api Mako hampir dihilangkan, Korra dapat mengendalikan elemen udara, dan akhirnya ia pun dapat mengalahkan Amon. Para pengikut Amon pun melihatnya menggunakan pengendalian air dan kemudian pergi. Amon pun menjemput adiknya dan pergi menggunakan kapal boat. Karena Tarlock ingin Noatak mati agar masalah ini tuntas, maka ia pun melakukan bunuh diri bersama kakaknya di kapal.
Di Kutub Selatan, Katara mencoba mengembalikan pengendalian elemen pada Korra, tetapi tidak bisa. Korra pun merasa sangat sedih dan terpukul, orang-orang yang menunggunya pun juga tidak tahu harus berbuat apa. Mako pun menghibur Korra dengan menyatakan perasaannya, tetapi Korra tidak memedulikannya. Ketika ia keluar dan menyendiri, ia pun menangis dan ketika itu Avatar Aang datang. Korra pun telah terhubung dengan para avatar. Aang pun mencoba mengembalikan pengendaliannya. Kemudian Korra pun telah memiliki semua pengendalian elemennya. Mako melihatnya, lalu Korra pun menyatakan perasaannya. Setelah itu, Korra pun bisa mengembalikan pengendalian tanah Beifong dengan bantuan avatarnya.
Tokoh-Tokoh dalam Avatar, The Legend of Korra
Avatar Korra






Avatar Korra
Avatar Aang




Avatar Aang

Tenzin






Tenzin
Chief Lin Beifong






Chief Lin Beifong
Katara




Katara
Jenderal Iroh






Jenderal Iroh
Mako






Mako
Bolin






Bolin
Asami






Asami
Amon (Notoak)






Amon (Noatak)
Tarlock





Tarlock
Pema





Pema (Istri Tenzin)
Jinora






Jinora (Anak Tenzin ke-1)
Ikki






Ikki (Anak Tenzin ke-2)
Meelo






Meelo  (Anak Tenzin ke-3)
Rohan





Rohan (Anak Tenzin ke-4)
Naga






Naga
Yakone

REVIEW: "Chinese Zodiac(CZ12)"


Tidak peduli seberapapun kerasnya badai kritik pedas dari kritikus yang menghantam Chinese Zodiac, film ini akan tetap disaksikan oleh puluhan juta penonton dari seluruh dunia – Oh well, Asia dalam hal ini. Resepsi buruk yang diterima tidaklah menjadi soal karena film ini memiliki ramuan penjamin kesuksesan di tangga box office, Jackie Chan dan laga. 
 
Yup, mayoritas penonton yang berbondong-bondong menyesaki bioskop tentunya berharap melihat aksi keren dari Chan. Chinese Zodiac disebut-sebut sebagai ‘comeback’-nya Jackie Chan ke ranah laga setelah sekian tahun lamanya berkutat di peran-peran yang menuntutnya untuk berakting serius. Di film ke-101-nya yang merupakan reboot dari Armour of God dan sekuelnya, Armour of God II: Operation Condor ini Chan tak hanya menjabat sebagai aktor, produser, penulis skrip, serta sutradara saja, tapi juga ikut ‘cawe-cawe’ di departemen teknis dari mulai sebagai sinematografer, penata artistik, koreografer laga peran pengganti, hingga koordinator katering. Whoaaa... borongan, Pak? Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan Jackie Chan terlibat di nyaris setiap bagian, akan turut mendongkrak kualitas film secara keseluruhan atau malah justru.... menenggelamkannya? Let’s see... 

Chinese Zodiac – atau bisa juga disebut dengan CZ12 – memulai kisah dengan kemunculan 12 potong patung kepala bintang yang merupakan representasi dari 12 figur astrologi China yang telah lama dinyatakan musnah di berbagai rumah pelelangan dengan harga yang membumbung tinggi. MP Corp, sebuah perusahaan pelelangan untuk para kolektor yang dikepalai oleh Lawrence (Oliver Platt), ingin mengumpulkan secara lengkap ke-12 patung. Maka demi menyusuri keberadaan sejumlah relik ‘Chinese Zodiac’ yang masih belum diketahui keberadaannya, Lawrence memekerjakan JC (Jackie Chan). Dengan iming-iming bayaran besar, JC pun mengumpulkan tim (Kwon Sang-woo, Zhang Lan Xin, dan Liao Fan) dan segera bertindak. Informasi yang didapat dari seorang profesor kurator museum menghantarkan JC dan tim kecilnya ke Paris dimana mereka bertemu dengan Coco (Yao Xing Tong), pemimpin sebuah yayasan perlindungan benda bersejarah. Tanpa mengetahui tujuan sebenarnya, Coco bersedia untuk membantu JC. Dengan Coco, dan kemudian seorang wanita kaya bernama Katherine (Laura Weissbecker), bergabung dalam tim, perburuan pun resmi dimulai. 
Di atas kertas, Chinese Zodiac terdengar sebagai sebuah proyek yang menjanjikan. Jackie Chan kembali ke akarnya di film laga berbumbu komedi produksi kerjasama Hong Kong dan China. Akan tetapi, sayangnya, hasil akhir tak memenuhi pengharapan dan cenderung mengecewakan. Ini jelas bukan sesuatu yang diinginkan kala menyaksikan Jackie Chan kembali beraksi di layar perak. Chinese Zodiac hadir sebagai sebuah film yang nyaris tidak bertenaga. Dengan durasi yang membentang hingga sepanjang 123 menit, film terasa melelahkan untuk diikuti. Keputusan Chan untuk menghindari segala bentuk klise dalam jalinan penceritaan malah justru menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Alih-alih menciptakan deretan sajian laga yang segar dan inovatif, yang dilakukannya justru mengutak atik naskah. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan gelaran kisah yang klise semuanya berpulang kepada cara kemas dan hidangnya. Apa yang terjadi, pemeran Wong Fei-hung dalam dwilogi Drunken Master ini justru menjejali naskah dengan beragam konflik dan beragam karakter sehingga penuh sesak serta kehilangan fokus. Bahkan, saya sempat mengalami kebingungan dan bertanya-tanya, “apa yang sebenarnya ingin diceritakan oleh film ini?.” 

Dengan menyentuh semua departemen, kinerja Jackie Chan malah terkesan kurang maksimal dan cenderung setengah-setengah. Tidak ada yang benar-benar menonjol di sini sehingga penonton tak sanggup dibuat terkesima olehnya. Naskah yang berantakan didukung pula oleh gelaran aksi yang monoton serta guyonan yang sudah terasa kuno. Mungkin, ini masih berhasil jika dilakukan 10 tahun lalu, tapi untuk sekarang? Maaf, tidak. Kentara sekali ambisi Chan untuk mengulang masa kejayaannya melalui Chinese Zodiac. Permasalahan yang dihadapi olehnya, he’s trying too hard. Keputusan untuk menghindari naskah yang dangkal – tapi sayangnya malah membuat jalinan penceritaan menjadi memusingkan dan menjemukan – ketimbang berupaya untuk menampilkan koreografi laga yang ‘unpredictable’ dan belum pernah kita saksikan adalah kesalahan terbesarnya di sini. Sungguh teramat sangat disayangkan. 
Pun demikian, Chinese Zodiac tidak lantas menjelma menjadi film yang sepenuhnya buruk dan tidak bisa dinikmati. Sekalipun hampir separuh film saya dibuat terkantuk-kantuk dan ingin rasanya, jika ada, menekan tombol ‘fast forward’ agar penderitaan segera berlalu, masih ada beberapa bagian yang cukup bisa dinikmati. Paruh awalnya menyiksa, namun menginjak pertengahan film khususnya kala JC dan konco-konconya ini mendarat di sebuah pulau tak berpenghuni, ‘kehidupan’ dalam film ini mulai menampakkan diri. Ada perasaan bersemangat untuk kembali mengikuti film. Dengan set yang terbatas, kelucuan, keseruan, serta kekacauan tersampaikan dengan baik. Inilah yang sejak awal diidam-idamkan. Setelah misi terselesaikan, grafik pun kembali menurun hingga akhirnya kembali membaik dalam sebuah penutup yang meski berlangsung singkat namun lumayan mendebarkan dan memperlihatkan kemahiran serta keberanian Jackie Chan dalam sebuah adegan terjun bebas di udara yang dilanjut dengan berguling-guling di lereng kawah gurung berapi tanpa memakai pelindung kepala. 
Pada akhirnya, sebagai sebuah ‘comeback’ serta megaproyek yang ambisius, Chinese Zodiac atau CZ12 gagal dijalankan dengan baik. Dengan naskah yang amburadul dalam durasi yang kelewat panjang tanpa adanya deretan adegan laga yang ‘outstanding’, sudah lebih dari cukup menyaksikan film ini satu kali. Lemah nyaris tidak ada daya, menjemukan, melelahkan, sekaligus mudah dilupakan adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan film ini. Kecuali Anda adalah fans berat Jackie Chan yang hanya mau melihatnya kembali gila-gilaan dalam serangkaian adegan laga di film buatan Hong Kong dan China, maka Chinese Zodiac hanya akan membuat kecewa.

Poor

Selasa, 22 Januari 2013

5 Karakter Horror Paling Ngetop


KARAKTER HOROR PALING NGETOP
Yang namanya game horor sudah cukup banyak, semua menawarkan cerita yang menegangkan ditambah dengan gameplay seru. Dari konsol sampai ke PC, sepertinya tidak ada yang lolos dari genre game horor. Dari sekian banyak game horor yang ada, ada beberapa karakter yang dianggap sebagai yang terbaik. HG sudah menyaring beberapa di antaranya. (V3)




= PYRAMID HEAD (SILENT HILL) =
            Makhluk satu ini merupakan makhluk yang paling berkesan di semua serial Silent Hill sejauh ini. Tidak pernah ada yang tahu seperti apa wajah Pyramid Head karena selalu tersembunyi dibalik err... piramidnya. Bersenjatakan golok besar yang berakibat fatal jika terkena, makhluk satu ini tidak bisa dibunuh sampai tiba saatnya. Gamer harus menghindarinya sampai Pyramid Head meninggalkan gamer sendirian.
Pyramid Head bisa dikatakan merupakan executioner untuk mereka-mereka yang ada di Silent Hill, monster maupun manusia. Mendekati akhir Silent Hll 2, James bahkan harus menghadapi dua Pyramid Head sekaligus. Di Jepang dia dikenal sebagai Triangle Head dan sempat menduduki peringkat ke dua dari karakter yang paling menakutkan dalam dunia game. Peringkat pertamanya? Dr. Salvador dari Resident Evil 4. Lebih seram gergaji mesin dari pisau raksasa, ya ...





Nemesis


Tyrant




= TYRANT & NEMESIS (RESIDENT EVIL) =
            Kedua makhluk ini bisa dikatakan sama-sama ngetop untuk serial Resident Evil. Tyrant terkenal dengan kekuatannya serta sulit dikalahkan, sementara Nemesis terkenal dengan sifat stalker-nya, yang selalu mengikuti Jill ke mana-mana sambil bersuara “S.T.A.R.S...” Rasanya sampai saat ini belum ada makhluk khas RE yang bisa mengalahkan “ketekunan” kedua makhluk ini.
Baik Tyrant maupun Nemesis akan dihadapi beberapa kali sepanjang permainan. Saat kamu merasa bahwa mereka akhirnya tewas, keduanya akan muncul lagi dan lagi dan lagi sampai game berakhir. Cape, deeeh ... Penampilan mereka terkadang berubah-ubah, tergantung judul RE yang sedang kamu mainkan. Tapi keduanya nyaris tidak pernah absen dalam serial RE.
        


= SCISSORMAN (CLOCK TOWER) =
            Scissorman yang muncul di serial Clock Tower ini terkenal untuk kesadisan serta keras kepalanya. Tidak seperti Scissorman di Clock Tower 3, di judul sebelumnya Scissorman dikatakan sebagai makhluk tahan banting dan tidak kenal menyerah dalam mengikuti tokoh utama. Kemunculannya kadang sering tidak bisa ditebak dan kalau sang tokoh utama terjebak di ruangan tanpa jalan keluar, yaaah, silakan teriak semaumu.
            Di Clock Tower: The First Fear, dijelaskan nama asli Scissorman adalah Bobby Barrows. Di usianya yang masih muda, 9 tahun, dia sudah meneror Jennifer Simpson dengan membunuh teman-temannya. Di Clock Tower, peran Scissorman diambil alih oleh Dan Barrows dengan bersenjatakan sama, sebuah gunting besar yang digunakan untuk meneror Jennifer Simpson dan Helen Maxwell.



= ALMA WADE (F.E.A.R) =
            Bagi para penggemar game FPS, siapa sih yang bisa melupakan Alma? Anak perempuan yang awalnya merupakan anak manis ini perlahan-lahan berubah dari anak manis menjadi sosok yang menebar teror bagi tiap karakter serial F.E.A.R. Alma jarang muncul langsung dihadapan karakter utama. Biasanya dia muncul dipojokan atau hanya lewat sekilas, dan saat dicari, tidak ada tanda-tanda kehadirannya.        Kemampuan Alma memang sangat mengerikan. Dia bisa dengan mudah memisahkan tubuh dengan tulang, menyipratkan darah ke mana-mana dan mampu memanipulasi pikiran seseorang. Hiiiih!



= MIKU HANASAKI (FATAL FRAME) =
            Miku merupakan karakter Fatal Frame yang cukup tahan banting. Dia sukses menjelajahi Himuro Mansion untuk menemukan kakaknya yang tercinta. Saat berhadapan dengan para hantu, bukannya merasa takut, Miku malah dengan tenang mengangkat Camera Obscura untuk memotret para hantu.   Karena popularitasnya, Miku kembali muncul di Fatal Frame 3 dan bisa dikendalikan selama beberapa chapter. Tapi nasibnya masih saja menyedihkan....           

REVIEW: "Pirates Of The Caribbean: On Stranger Tides"




“You will never get too old to watch Disney movie” – Doskoy World






"Better to not know which moment may be your last. Every morsel of your entire being alive to the infinite mystery of it all." - Jack Sparrow

Absennya Black Pearl dan pasangan romantis nan menggemaskan, Will (Orlando Bloom) dan Elizabeth (Keira Knightley), tidak menyurutkan niat Walt Disney untuk melanjutkan Pirates of the Carribean menuju ke instalmen keempat. Selama Johnny Depp alias Jack Sparrow masih berada dalam genggaman, maka franchise ini masih bisa terus berlayar mengarungi layar-layar bioskop demi membajak harta karun berupa pundi-pundi Dollar dari penonton. Maka tak heran jika ada kabar bahwa Depp mendapat bayaran sebesar $55 juta untuk melanjutkan perannya sebagai bajak laut slebor ini. Akibatnya, bujet produksi pun membengkak hingga mencapai $250 juta. Dengan angka sebesar ini, agaknya wajar bagi para penonton untuk sedikit berekspektasi lebih terhadap adegan-adegan aksi yang dijual di Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides. Gore Verbinski yang mengarahkan tiga film sebelumnya bergabung bersama Orlando Bloom dan Keira Knightley untuk meninggalkan franchise yang telah berjasa melambungkan nama mereka ini. Rob Marshall pun dipilih untuk mengambil alih kemudi kapal dan melanjutkan perjalanan bersama Jack Sparrow. Dengan hilangnya Bloom dan Knightley, maka didatangkan beberapa wajah baru dalam franchise untuk mengisi kekosongan. Ucapkan selamat datang kepada Penelope Cruz, Ian McShane, Sam Claflin dan Àstrid Bergès-Frisbey yang jelita berseri-seri.

Jack Sparrow tidak berjuang sendirian untuk melanjutkan petualangannya karena dia masih setia didampingi oleh Gibbs (Kevin McNally) dan musuh bebuyutannya, Hector Barbossa (Geoffrey Rush). Mengambil kisah dari novel berjudul sama karangan Tim Powers, On Stranger Tides bertutur mengenai usaha Jack Sparrow dalam menemukan Fountain of Youth. Sekalipun plot cenderung berjalan lurus dan mudah ditebak, namun perjalanan Sparrow tetap saja penuh lika liku. Sparrow diculik oleh kekasihnya yang telah lama hilang, Angelica (Penelope Cruz), dan terpaksa bergabung ke dalam kapal Queen Anne's Revenge milik bajak laut misterius yang mematikan, Blackbeard (Ian McShane), yang berambisi untuk menemukan Fountain of Youth. Sementara itu, Gibbs bergabung bersama dengan Barbossa untuk memburu Blackbeard. Rupanya Barbossa memiliki dendam pribadi terhadap Blackbeard setelah Barbossa kehilangan Black Pearl dan salah satu kakinya. Petualangan yang seru ini juga diwarnai dengan romansa unik yang terjalin antara seorang misionaris, Philip (Sam Claflin) dengan salah satu putri duyung yang memiliki posisi penting dalam film, Syrenna (Àstrid Bergès-Frisbey).


Berbeda dengan ketiga film sebelumnya, On Stranger Tides cenderung mudah untuk diikuti dan tidak berbelit-belit dalam menuturkan kisah. Terry Rossio dan Ted Elliott memasukkan lebih banyak unsur hiburan dan tidak terlalu berusaha untuk menampilkan intrik kelas tinggi yang terkadang sulit untuk dicerna bagi para penonton yang tidak mengikuti petualangan Jack Sparrow sejak awal. Segalanya dimulai lagi dari awal mengingat On Stranger Tides dicanangkan sebagai jilid pertama dari sebuah trilogi baru. Dengan jalan cerita yang jauh lebih ringan ketimbang pendahulunya, menjadikan On Stranger Tides enak untuk diikuti tanpa harus mengerutkan dahi dan memutar otak memikirkan apa yang telah terjadi di ketiga film sebelumnya. Rob Marshall mengemasnya dengan baik. Sayangnya ini berdampak pada dialog dan humor-humor cerdas khas Pirates of the Caribbean yang terpaksa dikorbankan untuk diganti dengan eksploitasi adegan-adegan bertaburkan special effects dan humor yang menyentuh ranah slapstick. Namun dari sekian banyak adegan yang memanfaatkan CGI, murni hanya adegan penyerangan putri duyung di pantai yang berhasil membuat saya cukup terpukau. Selebihnya hanya pengulangan.

Tidak salah rasanya keputusan untuk menggaji Depp sedemikian tinggi karena Jack Sparrow masih tetap tampil sangat menghibur dan mampu menghindarkan film dari kata membosankan. Adu akting Depp dengan Ian McShane dan Geoffrey Rush adalah salah satu bagian terbaik dari On Stranger Tides. McShane menghidupkan Blackbeard dengan sangat meyakinkan dan Rush membuat saya seolah tak percaya bahwa dia adalah orang yang sama yang berperan di The King's Speech tempo hari. Claflin dan Bergès-Frisbey bermain sesuai dengan porsinya dan sesekali mencuri perhatian. Chemistry yang terjalin diantara mereka berdua malah cenderung lebih believable ketimbang apa yang coba dihadirkan oleh Depp dan Cruz. Penelope Cruz sebenarnya lumayan menghibur, hanya saja pesona Àstrid Bergès-Frisbey yang kuat dan chemistry-nya yang lemah dengan Depp, membuat dia menjadi sedikit terpinggirkan.

Beberapa penggemar Pirates of the Caribbean mungkin akan sedikit kecewa melihat franchise favorit mereka ini disajikan sedemikian ringan. Para kritikus film pun melayangkan kritikan pedas untuk On Stranger Tides. Namun tetap saja, On Stranger Tides melaju dengan kencang di tangga box office sekaligus memecahkan beberapa rekor. Agaknya penonton awam lebih menyukai tampilan baru dari franchise ini. Meskipun belum bisa menyamai jilid pertama dan keduanya yang sangat menghibur, akan tetapi On Stranger Tides berkali-kali lipat lebih mengasyikkan ketimbang At World's End yang melelahkan itu. Dengan durasi 30 menit lebih pendek, On Stranger Tides terasa pas dan tidak bertele-tele. Special effects dimanfaatkan dengan sangat baik dan departemen aktingnya jempolan. Pada akhirnya, Rob Marshall berhasil menjalankan misinya dengan baik untuk menjadikan On Stranger Tides sebagai sebuah summer movie yang menghibur.

2D atau 3D? Sekalipun film ini disyut memakai kamera 3D, tampilan 3D-nya tidak terlampau istimewa. Jika bujet Anda terbatas, maka sebaiknya jangan memaksakan untuk menonton versi 3D-nya.

Acceptable

Senin, 21 Januari 2013

4 Channel Youtube Rekomendasi Doskoy





Siapa yang tak kenal Youtube? situs sharing video raksasa ini sudah menjadi website idola banyak orang
YouTube adalah sebuah situs web video sharing (berbagi video) populer dimana para pengguna dapat memuat, menonton, dan berbagi klip video secara gratis. Umumnya video-video di YouTube adalah klip musik (video klip), film, TV, serta video buatan para penggunanya sendiri.[2] Format yang digunakan video-video di YouTube adalah .flv yang dapat diputar di penjelajah web yang memiliki plugin Flash Player.[2] Menurut perusahaan penelitian Internet Hitwise, pada Mei 2006 YouTube memiliki pangsa pasar sebesar 43 persen.[3]
lihat lebih lanjut

kali ini Doskoy akan memberikan 4 channel di youtube yang bisa kamu tonton kalo perlu "subscribe"! yuk dilihat!



SMOSH
website resmi smosh yakni www.smosh.com sementara itu ini alamat channel smosh di youtube, smosh memberikan gambar lucu, komedi interenet, humor, dan ini yang menjadi andalannya di youtube, funny video smosh

 
ANNOYING ORANGE


 Annoying orange menceritakan seekor, sebuah maksudnya, sebuah jeruk yang menyebalkan, bagi penggemar annoying orange pasti mengenal kata "KNIFE!", setiap minggu annoying orange memberikan episode baru channel annoying orange


MONDO
Doskoy gak bisa berkata apa-apa lagi.... http://www.youtube.com/user/MondoMedia


VAT19
Vat19 ini bukanlah seperti 3 video lucu diatas, vat19 lebih ke berjualan online, banyak barang-barang unik di Vat19, tapi sayangnya hanya dapat diperjualbelikan di Amerika saja, jadi kita tidak mungkin memesannya, berikut websitenya dan juga channel youtube-nya





bagaimana Doskoy? sudah tahu mau nonton video yang mana???? ;)








REVIEW: "Inception"



A must-see movie!

Jujur, menulis review Inception sangatlah tidak mudah, bahkan bisa dikatakan ini merupakan review tersulit yang pernah saya tulis. Untuk bisa memberanikan diri menurunkan tulisan ini saya membutuhkan waktu 7 hari 7 malam untuk bertapa dan mencari ide. Sialnya, saat saya sudah mulai menulis, semuanya hilang, sepertinya ide saya baru saja dicuri oleh Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) melalui mimpi. Baiklah, saya berhenti untuk meracau dan melanjutkan untuk mengulas salah satu film paling jenius dalam 10 tahun terakhir ini. Sejak kemunculan perdana teaser trailer-nya, Inception sudah mulai mencuri perhatian khalayak ramai terlebih karena trailer yang dibuat misterius begitu pula dengan plotnya yang disimpan sedemikian rapat. Inception merupakan film paling diperbincangkan dan ditunggu oleh pecinta film, termasuk saya. Saat daftar rilisan film tahun 2010 dipublikasikan di awal tahun, Inception langsung menyeruak ke posisi puncak film yang paling saya tunggu kehadirannya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah sepadan penungguan para pecinta film selama kurang lebih setahun dan 10 tahun bagi Christopher Nolan untuk bisa mewujudkan film ini ? Jawabannya ; Absolutely, yes. Sangat sepadan.

Plot merupakan bagian terpenting dari film ini, oleh karenanya saya hanya akan menulis inti ceritanya saja karena saya tidak ingin merusak kenikmatan menonton para pembaca sekalian. Dom Cobb, seorang pencuri profesional yang mampu mencuri rahasia - rahasia terdalam sekalipun melalui pikiran bawah sadar korbannya di tengah keadaan bermimpi. Sebagai kriminal paling lihai di dunia yang penuh intrik, Cobb menjadi tokoh paling banyak diburu berbagai pihak. Tindakan riskannya ini pula yang mengorbankan semua yang pernah dicintainya. Demi menebusnya, dia mengambil tawaran dari Saito (Ken Watanabe) untuk menanamkan ide pada saingan bisnis Saito, Robert Fischer (Cillian Murphy). Bukan perkara yang mudah, apalagi yang diminta oleh Saito adalah insepsi (penanaman ide), bukan mencuri ide seperti yang biasa Cobb lakukan. Bersama dengan timnya yang terdiri atas Arthur (Joseph Gordon-Levitt), Ariadne (Ellen Page), Eames (Tom Hardy) dan Yusuf (Dileep Rao), Cobb harus menuntaskan misi maha sulit yang berbahaya ini jika ingin kembali bertemu dengan keluarga yang dikasihinya.


Plotnya terdengar cukup menjanjikan, bukan ? Itu masih belum ada apa - apanya dibandingkan dengan apa yang disajikan dalam bentuk visual dan naskah lengkapnya. Banyak twist yang dihadirkan disini, sangat sulit untuk menebak alurnya apalagi endingnya. Durasi 148 menit yang tergolong panjang tidak terasa bagi saya karena Inception berhasil menyihir saya untuk tetap duduk tenang di kursi bioskop dan fokus kepada apa yang disajikan di layar. Filmnya sendiri sangat menegangkan, plot berlapis - lapis dengan misteri yang menarik memaksa untuk menahan hasrat ke kamar kecil hingga film berakhir. Saya benar - benar kagum dengan ide cerita yang disodorkan oleh Christopher Nolan, sangat brilian dan tidak terpikirkan oleh siapapun sebelumnya. Pernahkah kalian membayangkan mimpi yang memiliki tiga hingga empat tingkat ? Rasanya, tidak. Mungkin jika hanya dua tingkat beberapa pernah membayangkannya, tapi dengan tiga tingkat ? Bahkan ide mengenai seseorang yang bisa mencuri dan menanamkan ide melalui alam bawah sadar sekalipun. Sutradara yang satu ini memang sudah "gila". Jika sosok Cobb dan apa yang dilakukannya memang benar adanya, mungkin saya sudah menyewanya untuk mencuri ide Nolan, haha. Sebelum Inception, Nolan juga sudah pernah membesut film gila lainnya berjudul Memento dan membuat Batman terlihat lebih berkelas di The Dark Knight.

Lupakan saja kegilaan sutradara yang satu ini, mari beralih dengan membahas hal lain. Seluruh aspek yang hadir dalam Inception sudah hampir sempurna, sulit menemukan celanya. Untuk urusan akting tak usahlah ditanya lagi. Dengan deretan cast yang memiliki track record menang atau nominasi dari Oscar dan Golden Globe sudah bisa ditebak hasilnya akan seperti apa. Leo tetap bermain gemilang seperti biasa, begitu pula dengan Ken Watanabe yang bermain sangat ciamik. Joseph Gordon-Levitt dan Ellen Page makin terlihat matang ketimbang film sebelumnya, Tom Hardy juga semakin bagus saja sejak aktingnya di Bronson yang menawan. Namun dari semua cast yang paling menonjol adalah Marion Cotillard yang berperan sebagai Mal, istri dari Cobb. Porsi aktingnya memang yang paling kecil akan tetapi Marion berhasil mengeluarkan ledakan yang paling besar diantara cast yang lain, termasuk Leo sekalipun. Semenjak menang Oscar melalui La Vie en Rose, Marion tak pernah sekalipun menghadirkan akting yang mengecewakan meski perannya kecil sekalipun, seperti dalam film ini misalnya. Secara berturut - turut Marion Cotillard membintangi dua film dimana di dalamnya memakai ensemble cast dan dalam kedua film tersebut pula aura Marion yang paling bersinar terang. Hebat sekali aktris yang satu ini. Rasa - rasanya juri Oscar akan kembali meliriknya untuk dimasukkan dalam nominasi best supporting actress tahun depan.

Banyak yang membandingkan Inception dengan The Matrix, terutama bagi mereka yang belum menontonnya. Tapi percayalah, kedua film tersebut berbeda meski jika dilihat sekilas memang cenderung mirip. Adegan aksi yang disajikan disini memang tidak seorisinil The Matrix, tapi tetap membuat saya berdecak kagum. Beberapa diantara adegan tersebut adalah adegan aksi tanpa gravitasi di hotel yang melibatkan karakter Arthur dan pengejaran atas Cobb setelah dia bertemu dengan Eames, seru sekali. Sepertinya saat adegan tersebut bergulir di layar saya tak bernafas sama sekali, haha. Humor tetap ditemukan disini, walaupun jumlahnya tidak banyak tapi cukup berhasil mencairkan ketegangan terutama ketegangan di area otak. Jika membahas mengenai adegan aksi, kurang afdhol rasanya jika special effects tak disentuh. Tapi saya bingung, mau membahas apa di area special fx ? sajiannya begitu menakjubkan dan memanjakan mata. Mungkin jika Inception hadir 10 tahun yang lalu akan terasa kering, tapi seiring dengan kemajuan teknologi, apa yang diinginkan oleh Nolan bisa diwujudkan. Contohnya saat Ariadne sang arsitek dengan mudahnya menekuk struktur bangunan dan jalanan sehingga tepat berada di atas kepala. Sajian special effect disini memang dihadirkan sesuai kebutuhan cerita sehingga tak terkesan berlebihan atau mubazir.

Fuhhhh, apa lagi yang mesti dibahas ? Untuk saat ini, tidak ada. Bukan karena saya kehabisan bahan, akan tetapi justru sebaliknya. Jika ingin membicarakan Inception, ada setumpuk bahan yang bisa dijadikan bahasan yang menarik. Tapi jika saya memaksa untuk memasukannya dalam review ini, yang ada justru akan menjadi spoiler. Membahas Inception tanpa menyentuh ranah spoiler memang sulit karena seperti yang telah saya tulis di atas, plot merupakan bagian terpenting dari film ini. Dari segi teknis pun rasanya tak ada yang perlu diulas mengingat film ini sangat unggul disana. Mungkin saya hanya ingin menyarankan kepada pembaca agar tidak datang terlambat atau melewatkan satu detik pun saat menonton film ini bioskop. Usahakan urusan di belakang sudah tuntas sehingga tak perlu bolak - balik ke toilet. Menonton film ini membutuhkan konsentrasi tinggi, sedikit saja terlewat maka buyar segalanya. Bahkan terkadang detil kecil sekalipun sangat penting bagi film ini secara sekeluruhan. Jadi, siapkan mood, tuntaskan masalah di belakang dan konsentrasilah saat menyaksikan film super jenius ini. Oia, jangan lupa matikan handphone. Selamat menonton!

Nilai = 9/10
(Maaf, masih berada di bawah Toy Story 3)

Thrilling, stunning, mind-blowing, GENIUS!

Minggu, 20 Januari 2013

REVIEW: "Les MIserables"

"To love another person is to see the face of God." - Jean Valjean

Satu hal yang ingin saya sampaikan sebelum Anda memutuskan untuk menukar Rupiah dengan selembar tiket bioskop demi menyaksikan Les Miserables, apa yang hendak Anda simak adalah sebuah film musikal.
 
Bukan musikal biasa dimana beberapa tokoh yang semula beradu dialog tiba-tiba tanpa diberi komando mendendangkan sebuah tembang seraya menggoyangkan tubuh bersama sejumlah penari latar. Bukan. Sang sutradara yang baru saja menggondol Oscar melalui The King’s Speech, Tom Hooper, membawanya ke ranah musikal murni. Itu artinya, nyaris seluruh dialog dalam film dituturkan kepada audiens dalam bentuk nyanyian. Apabila Anda antipati terhadap genre ini, maka menikmati Les Miserables di layar lebar bisa jadi merupakan sebuah siksaan. Sebaliknya, jika Anda tergolong penonton yang menggemari tontonan musikal atau terbuka terhadap semua genre, maka Les Miserables merupakan sebuah film yang keindahannya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Saking luar biasanya – Oh, Anda boleh mengatakan saya adalah reviewer terlebay sedunia, haha – saya bahkan memberikan sedikit tepuk tangan usai menyimak film ini. Tidak bisa secara meriah lantaran ya... menghormati penonton di sekitar saya yang sepertinya tertipu. 

Les Miserables beranjak dari sebuah novel Sastra Prancis klasik karangan Victor Hugo yang pertama kali terbit pada 1862. Semenjak itu, berbagai versi adaptasi menyertainya, baik itu film panjang, miniseri, pertunjukkan musikal, maupun drama radio. Ketika versi lainnya mengacu kepada novel dengan kesetiaan penuh maupun rombak sana sini demi penyesuaian, maka Tom Hooper justru berpijak kepada pertunjukkan musikalnya yang telah berkali-kali dipentaskan sejak dekade 80-an sehingga menyandang gelar ‘one of the longest running musicals ever’. Alih-alih menyesuaikan dengan format barunya, Hooper justru tetap patuh kepada ‘musical play’-nya dengan alasan lebih efektif dalam bertutur. Bahkan demi mempertahankan cita rasa otentik, sang penulis skrip, William Nicholson, turut ditemani oleh tiga penulis dari versi musikalnya, Alan Boubil, Claude-Michel Schonberg, dan Herbert Kretzmer. Maka, dengan keputusan untuk setia sepenuhnya terhadap pertunjukkan musikalnya, seperti yang telah saya jabarkan di paragraf pembuka, dialog dalam film pun menganut ‘sung-through’ sesuai dengan sumber pijakannya. 
Yang menjadi tokoh utama di sini adalah Jean Valjean (Hugh Jackman) yang baru saja mengakhiri masa tahanannya selama 19 tahun setelah kedapatan mencuri sepotong roti demi memberi makan keponakannya. Usai mencium udara kebebasan, Jean Valjean tak sepenuhnya lepas dari tanggungan. Dia kudu lapor kepada polisi pengawas, Javert (Russell Crowe), secara berkala. Pertemuan Valjean dengan seorang uskup (Colm Wilkinson) membuat dia mangkir dari kewajibannya, menghilang, dan memutuskan untuk memulai kehidupan baru. 8 tahun berselang, Valjean yang telah mengubah identitas dirinya hidup tentram di sebuah daerah kecil di Prancis, menjadi walikota, dan memiliki sebuah pabrik. Ketenangannya terusik ketika Javert menampakkan diri di hadapannya. Masa lalunya yang kelam kembali memburunya. Ketika seorang gelandangan mengaku sebagai dirinya, perasaan bersalah Valjean menyeruak sehingga dia pun membongkar identitas aslinya. Resiko yang kudu ditanggung, Javert berambisi untuk meringkusnya dan Valjean pun menghabiskan sisa hidupnya dalam pelarian. Sementara itu, kita pun berkenalan dengan Fantine (Anne Hathaway), salah satu pekerja di pabrik Valjean, yang beralih profesi sebagai pelacur jalanan demi mengirim uang untuk biaya hidup putrinya, Cosette (Isabelle Allen). Fantine tidak berhasil bertahan setelah mengalami penyiksaan dari seorang pria. Meninggalnya Fantine membuat Valjean merasa bertanggung jawab dan memutuskan untuk merawat Cosette dalam pelarian hingga tumbuh sebagai gadis cantik (Amanda Seyfried).  

Pada awalnya, membayangkan duduk di dalam gedung bioskop selama 158 menit demi menyaksikan sebuah film yang nyaris seluruhnya dilagukan terasa melelahkan. Akan tetapi setelah saya menjajalnya langsung, ternyata ketakutan itu tak terbukti. Tom Hooper berhasil memaparkan skrip garapan empat penulis secara keroyokan dengan sangat baik. Dengan durasi yang memanjang hingga hampir mencapai 3 jam, tidak sekalipun saya menemukan momen yang menjemukan. Jalinan kisahnya dirajut dengan sangat cantik dan sempurna sehingga sanggup membuat penonton tetap betah untuk mencari tahu apa yang akan terjadi berikutnya, tokoh mana yang akan menemukan pembebasannya, dan tokoh mana yang akan mengakhiri jalannya dengan tragis. Memang, kisah ini telah berulang kali diceritakan ulang dengan berbagai cara penyampaian, namun dengan keputusan Hooper untuk menyajikannya dalam bentuk musikal utuh membuat Les Miserables serasa diberi suntikkan nyawa baru yang menjadikannya tetap menarik untuk diikuti terlebih dengan dukungan jajaran pemainnya yang bermain mempesona, khususnya Hugh Jackman dan Anne Hathaway. Mereka berdua sukses menyeimbangkan kemampuan olah vokal dengan berakting dengan rapi, penuh penghayatan, memberikan banyak energi serta emosi. Saya sama sekali tidak akan terkejut jika bulan depan juri Oscar memutuskan untuk memenangkan Hathaway di kategori ‘Best Supporting Actress’. Jika Jennifer Hudson saja mampu membuat juri terpukau melalui Dreamgirls, kenapa Hathaway tidak? I Dreamed a Dream jelas sebuah ‘showstopper’. Rendisinya terhadap lagu ini sungguh mempesona. Saya dibuat merinding disko kala menyaksikannya. 
Ya... barisan track yang terkandung di dalam film ini memang merupakan amunisi utama terlebih dengan absennya dialog konvensional. Kemasan musikalitasnya mungkin tak sempurna dan terdengar kasar lantaran diterapkan ‘live recording’ alih-alih lipsync, akan tetapi di bawah penanganan Hooper, kelemahan ini mampu hadir sebagai kekuatan. Dengan cara ini, emosi yang hendak diutarakan oleh pemain dapat lebih mengena dan membekas. I Dreamed a Dream boleh jadi merupakan yang paling memukau diantara lagu lainnya, akan tetapi sekitar 40 lagu lain yang hadir pun tetap kuat, termasuk satu lagu asli yang khusus diciptakan untuk film ini berjudul Suddenly. Seluruh emosi, baik cinta, kecewa, marah, lelah, hingga putus asa dituangkan ke dalam gelaran lagu yang menghiasi sepanjang film. Bulu kuduk ini seketika berdiri mendengarkan setiap tembang yang dibawakan dengan penuh penghayatan sekaligus emosi. Ini adalah pertama kalinya saya benar-benar larut ke dalam setiap lagu yang hadir di sebuah film musikal. Keputusan untuk memanfaatkan ‘sung-through’ dan ‘live recording’ memang penuh resiko, namun hasil yang didapat sangat sepadan. 
Melongok ke sisi teknis, Les Miserables pun tergarap detil. Tata produksinya sangat luar biasa, menciptakan kesan megah serta kolosal. Sinematografi arahan peraih nominasi Oscar, Danny Cohen, berpadu dengan sempurna bersama tata artistiknya, tata kostum, hingga tata rias. Perpindahan latar tempat dan waktu serta perubahan fisik tiap tokohnya dilukiskan dengan apik nan believable. Film ini pun pada akhirnya tidak hanya memanjakan telinga para penikmatnya, tetapi juga mata dari setiap penonton dengan melihat bidikan gambar yang tertata cantik. Kecermatan departemen artistik dalam menata set membuat penonton percaya bahwa apa yang tersaji di layar adalah Prancis di tahun 1800-an. Tata kostum tidak perlu diragukan lagi untuk sebuah costume drama semacam ini, tampil mengagumkan. Sementara untuk tata riasnya yang dikomandoi langsung oleh Lisa Westcott, setidaknya patut mendapat pujian dalam usahanya memermak wajah Hugh Jackman yang bertransformasi dari seorang tahanan dengan penampilan yang kucel dan berantakan menjadi bagian dari kalangan terhormat dengan dandanan yang rapi hingga Valjean di usia tua. 
Keputusan Tom Hooper untuk tetap mempertahankan cita rasa asli pertunjukkan musikalnya di dalam film besutannya ini memang beresiko memecah belah penonton, sebagian akan dibuat kagum dengan kemampuannya menelurkan sebuah pengalaman sinematis yang berbeda sementara sebagian lain akan sangat membencinya. Akan tetapi, apapun pendapat yang diutarakan oleh penonton usai menyimak sajiannya yang fenomenal ini, Tom Hooper telah berhasil menyajikan sebuah hidangan yang unik, berbeda, penuh cita rasa, hangat, menakjubkan, sekaligus sangat cantik. Ini akan menjadi sebuah film yang akan sulit Anda lupakan hingga bertahun-tahun ke depan. Les Miserables adalah pencapaian terbaiknya dalam dunia sinematik. Memindahkan sebuah pertunjukkan musikal yang telah memperoleh status klasik ke medium yang berbeda, dalam hal ini film panjang berdurasi 2 jam 38 menit, bukanlah perkara mudah dan dia sanggup menjalankannya seolah tidak ada kesulitan berarti yang dihadapinya. Dengan jajaran pemain yang mempertontonkan kemampuan olah peran dan olah vokal yang mengagumkan, tata produksi berskala kolosal yang tergarap detil, dan deretan tembang yang dibawakan dengan penuh cinta, maka layaklah sudah Les Miserables dinobatkan sebagai salah satu film musikal terbaik yang pernah ada.

Outstanding

REVIEW: "Real Steel"



Di tahun 2011 ini, perfilman Hollywood memberikan cukup banyak kejutan manis kepada para pecinta film. Sekalipun teknologi, khususnya pemanfaatan kamera 3D, semakin berkuasa, beberapa produser tampaknya mulai sadar bahwa mereka tidak akan bisa bertahan jika selamanya bergantung pada teknologi. 
 
Beberapa film yang dirilis tahun ini, secara mengejutkan hadir dengan kualitas yang apik. Bahkan banyak diantaranya justru berasal dari film yang sama sekali tidak disangka-sangka. Dari paruh pertama tahun 2011, tersebutlah judul-judul seperti Unknown, Insidious, Source Code, Fast Five hingga Thor, yang sukses mengeruk pundi-pundi dollar serta mencuri hati penonton. Memasuki musim panas, kejutan lain datang. Disamping special effect yang jor-joran dengan bujet raksasa yang digelontorkan oleh produser, dramalurgi mulai diperhatikan. Setelah hingar bingar summer movies berakhir, bukan berarti tidak ada lagi film yang menarik untuk ditonton. Ini saatnya untuk berburu kenikmatan tak terduga lainnya. Dan, saya kembali mendapatkannya melalui sebuah film yang trailer-nya saya cibir, Real Steel. Film yang terinspirasi dari cerpen karangan Richard Matheson bertajuk Steel ini, diarahkan oleh sutradara tak meyakinkan, Shawn Levy, dan didukung oleh Hugh Jackman, Evangeline Lily, Dakota Goyo, dan Kevin Durand. Sebagai komoditas utama di Real Steel adalah para robot petinju. Nampaknya kesuksesan luar biasa dari trilogi Transformers telah membuat robot dianggap sebagai ladang yang menguntungkan di Hollywood.
Di tahun 2020, olahraga tinju telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Tidak ada lagi manusia yang bertarung di atas ring tinju demi memperebutkan gelar sebagai World Boxing Champions. Sebagai gantinya, para robot yang berlaga. Perubahan ini tentu bukannya tanpa alasan. Dengan digantikannya manusia oleh robot, maka pertandingan tinju yang berlangsung akan semakin seru, brutal dan gila-gilaan. Charlie Kenton (Hugh Jackman), mantan petinju hebat di zamannya, beralih profesi menjadi ‘pelatih tinju’ para robot. Dengan modal pas-pasan serta menumpuknya hutang, Charlie berpindah dari satu arena ke arena yang lain bersama robot andalannya, Ambush, untuk menyambung hidup. Ketika Ambush akhirnya hancur, Charlie menghabiskan seluruh tabungannya demi robot lain, Noisy Boy. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan Noisy Boy, Charlie mendapatkan sebuah warisan dari mantan kekasihnya telah meninggal, seorang bocah berusia 11 tahun bernama Max (Dakota Goyo). Karena merasa tak mampu mengurusnya, Charlie melakukan perjanjian dengan paman dari Max. Selama musim panas, Charlie akan mengurus Max bersama dengan sahabatnya, Bailley (Evangeline Lily). Bisa diduga, hubungan ayah dan anak yang terpisah selama 10 tahun ini tidak berjalan mulus. Ketika Noisy Boy ‘tewas’ secara mengenaskan, Charlie dihadapkan pada pilihan yang sulit. Max menemukan sebuah robot rongsokan bernama Atom yang memiliki kemampuan istimewa. Max melihat potensi Atom sebagai robot petinju yang hebat, akan tetapi dalam pandangan Charlie, Atom tidak lebih dari robot rongsokan.

Sangat mengejutkan ketika saya mengetahui fakta bahwa pembesut film aksi yang emosional ini adalah Shawn Levy, sutradara spesialis film ringan yang telah menghasilkan dwilogi Night at the Museum, Date Night, Cheaper by the Dozen, dan The Pink Panther. Tentu bukan hal yang aneh jika banyak calon penonton yang pesimis dengan Real Steel jika mengintip jejak rekam dari Levy yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam mengarahkan film bergenre aksi fiksi ilmiah. Namun Levy berhasil membuktikan kepada mereka yang skeptis terhadap film arahannya bahwa dia bukanlah sutradara kacangan. Setelah melewati fase sebagai sutradara yang biasa-biasa saja, Levy akhirnya menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya melalui Real Steel yang tak pelak lagi merupakan film terbaik yang pernah dia buat. Real Steel didukung dengan naskah berisi hasil racikan secara keroyokan dari John Gatins, Dan Gilroy, dan Jeremy Leven. Dengan durasi yang terbentang panjang hingga melebihi dua jam, Real Steel tidak hanya menyoroti kebuasan para robot dalam menghabisi lawannya di atas ring tinju. Sisi emosionil dari hubungan personal antar karakter terasa perlu untuk ditonjolkan. Ikatan yang terjalin diantara Charlie dan Max serta Max dan Atom terasa kuat, nyata, indah dan mengharukan. Dipadukan dengan sajian aksi yang menakjubkan, Real Steel telah membuat sang sesepuh, Transformers: Dark of the Moon, terlihat seperti kaleng kosong bekas.

Untuk sekali ini, Hugh Jackman terlihat sangat pas dengan karakter yang dimainkannya. Pesonanya berhasil terpancarkan. Di awal film, saya dibuat kesal dengan tingkah lakunya yang cenderung semau gue dan pengecut, namun ketika menjelang akhir, saat Max dipaksa untuk berpisah dari Charlie, saya berempati kepadanya. Chemistry antara Hugh Jackman dan Dakota Goyo memang sangat meyakinkan, sampai-sampai saya menitikkan air mata di penghujung film. Usaha keras Shawn Levy dan timnya untuk menghasilkan sebuah film fiksi ilmiah berbobot patut mendapat acungan dua jempol. Real Steel dengan sukses turut membawa para penontonnya untuk terlibat secara emosional. Adegan di ring tinju membuat saya dan puluhan penonton yang lain bertepuk tangan setelah menyaksikan pertandingan yang menegangkan. Tidak sedikit pula yang matanya terlihat basah saat meninggalkan gedung bioskop. Segala kekhawatiran yang tercipta saat menyaksikan trailer-nya yang tidak meyakinkan ternyata sama sekali tidak terwujud. Real Steel hadir sebagai sebuah film yang tidak hanya sangat seru tetapi juga mampu mengaduk-aduk perasaan serta memberikan pelajaran yang berharga tentang kehidupan tanpa terkesan menggurui.

Exceeds Expectations